Wednesday, July 7, 2010

Ternyata Istriku Lebih Kuat Dariku

Sebelum menikah, kuanggap aku sudah siap menjalani hidup berdua. Dulu makan sendiri, sekarang aku siap makan berdua. Dulu cuci baju sendiri, aku siap bajuku dicuci calon istriku dan penghasilan yang dulunya hanya untuk diriku sekarang aku siap untuk kami berdua!

Setelah resmi kami menikah, kuanggap aku sudah mengerti peranan masing-masing. Aku yang bekerja mencari nafkah, istriku yang bekerja mengurus rumah.

Kecupan hangat istriku selalu membangunkanku dipagi hari, dan sebelum aku pergi bekerja, selalu tersedia nasi goreng telur mata sapi diatas meja ditambah segelas kopi kadang juga teh. Ketika aku pulang, senyuman hangat istriku selalu menyambut kedatanganku, dengan penuh rasa suka cita, menghiburku yang terlihat letih oleh tugas kerja. Tak lupa dia bercerita kejadian-kejadian yang terjadi dirumah dan tetangga, seolah-olah mengajak pikiranku untuk melepaskan beban yang menyelimuti kepala. Bahagianya aku. Oh indahnya ketika sudah beristri.

Setelah buah hati kami lahir, keadaan sedikit berubah. Aku terbangun oleh suara tangisan si kecil yang minta disusui, dan ketika aku akan berangkat bekerja, tangisan itu juga yang mengiringi. Sepulang aku kerja, istriku terlihat sibuk mengurusi si kecil, memandikannya atau menyetrika pakaian yang sudah menggunung. Selalu sibuk, tak ada lagi senyuman hangat menyambut kedatanganku. Kadang pula aku harus menggantikan istriku menjaga si bayi, karena dia pergi mandi. Dalam hati aku berkata: “uuhhh gak tau apa, aku capek kerja? Aku yang cari nafkah, aku juga yang kebagian mengurus anak”. Sedikit rasa dongkol dan aku merasa tak dihiraukan lagi.

Ketika anak kami yang kedua lahir, aku semakin tidak mengerti, sepertinya keindahan kasih sayang yang dulu selalu mengalir, kini terasa sudah tak lancar lagi, istriku lebih mementingkan peran menjadi seorang ibu daripada peran seorang istri. Kecupan yang hangat, tergantikan oleh lengking tangisan bayi, senyuman yang selalu merekah kini sudah jarang terlihat. Aku merasa tak dihargai lagi.

Hingga satu saat, aku mengikuti seminar yang diadakan oleh tempatku bekerja, sebuah seminar mengenai persamaan peranan antara suami dan istri. Sang mentor menyuruh kami membuat aktifitas sehari-hari, aktifitas apa yang kami dan istri lakukan dari bangun pagi hingga malam hari.

Daftar selesai aku buat dan aku terkejut, daftar aktifitas istriku lebih panjang dan lebih banyak dari daftar kegiatanku! Dimulai dengan bangun pagi, lalu menyusui sang bayi, memandikan dia dan kakaknya, mendandani hingga mempersiapkan keperluan sekolah kakaknya. Kemudian dilanjutkan dengan mencuci, bersih-bersih rumah, belanja dan masak (perlu diingat, istriku melakukannya sambil mengurusi si bayi). Sedangkan aku, dimulai dengan bangun pagi, kemudian mandi, mengantar anak ke sekolah dan pergi kerja, selesai. Malam harinya, aku istirahat, tertidur pulas. Sedangkan istriku, tak bisa tidur nyenyak karena terbangun oleh tangisan si bayi yang haus minta disusui atau minta di ganti popoknya yang sudah basah.

Aku bertambah yakin, bahwa istriku lebih lelah melebihi keletihanku, tanpa protes, tanpa minta naik banding. Semua dia lakukan demi keluarga kecilku. Aku berpikir bahwa tak ada alasan lagi aku merasa lagi tak dihiraukan dan tak dihargai. Istriku melakukan semuanya agar menjadi seorang ibu yang teladan bagi anak-anaknya dan menjadi seorang istri yang berbakti pada suami. Dan aku berjanji memperpendek aktifitas harian istriku, berbagi peran, agar senyum itu selalu merekah!. Harus kuakui bahwa secara umum, wanita lebih banyak mengeluarkan energinya dalam mengurusi rumah tangga daripada lelaki, dan istriku lebih kuat dariku. J

No comments:

Post a Comment