Monday, July 5, 2010

A long journey to Simpang Mamplam Sub District

Matahari sedang tersenyum padaku dan keliatannya dia baru muncul juga, karena kulihat kelompok-kelompok burung pun mulai mengepakkan sayapnya, aku sadar pagi telah tiba. Kuraih kuda besiku kuderukan mesinnya dan kupacu ia menuju Simpang Mamplam yang jaraknya lebih kurang 45 km, ya sekitar 1 jam perjalanan, begitu kata sang musafir jika jarum sepedometer pada kuda besiku tepat di angka 60km/jam.

Untungnya jalan lintasanku sedikit rame dengan para penikmat mesin berjalan, yang tanpa sadar mereka juga telah ikut menemani perjalananku, dan hatiku pun merasa tak sendiri di jalan lintas banda Aceh-Medan. Pusat kota Bireun yang dikenal sebagai ibukotanya kabupaten berlahan mulai kutinggalkan menuju Kecamatan Simpang Mamplam maka tak elak Jeumpa, Peudada, Plimbang, Jeunib dan Pandrah harus kulalui dengan beragam pemandangan yang menarik. Mulai becak mesin sampe bus petak antar provinsi, mulai kendaraan roda dua sampe roda dua belas. Debu jadi makanan utama, asap knalpot diesel jadi hirupan yang tak bisa dihindari. Mata di tuntut selalu waspada, banyak kendaraan yang sembarangan nyelip apalagi roda dua yang dinaiki anak-anak tanggung –seperti kata temen ku, maklum mungkin mereka beranggapan jika sudah bayar pajak berarti sudah ditanggung ansuransi, jadi tidak perlu takut dengan kecelakaan. Kendaraan menuju pusat kota lebih padat yang umumnya adalah pegawai kantoran, sebaliknya yang keluar kota lebih sedikit bisa dihitung jari, paling-paling bus antar provinsi yang kesiangan sampe di Bireun (salah satu pesaing terhebatku).

O ya, kota Bireun terkenal dengan keripiknya, ada keripik pisang, ubi, sukun dll., tersedia untuk segala ukuran dan rasa, sesuai dengan selera pembeli untuk oleh-oleh. Makanya tidak heran ketika gw udah keluar kota, (masih) berjejer penjual keripik seolah-olah mengingatkan kita, jangan lupa membawa oleh-oleh khas Bireun, keripik.

30 menit diatas motor mulai kurasakan pemberontakan beberapa anggota tubuh ku, terutama pantat ku yang sudah hilang rasa, menuntut perenggangan otot-ototnya. Terkadang aku harus menenangkannya dengan mengoyang-goyankannya sambil terus memacu kudabesiku, ya supaya aliran darahnya kembali lancar. Belum lagi mata yang ikut-ikutan protes, jangan heran juga jika aku sesekali berteriak sendiri diatas motor untuk menghilangkan rasa kantuk! (teriaknya dijalan yang kira-kira sepi dong, tidak mungkinlah ditempat yang ramai, apa kata dunia?)

Melintasi persawahan dan rumah toko disamping jalan. Gw liat semua kecamatan sudah punya puskesmas, bagus-bagus bangunannya ga tau pelayanannya. Semua kantor camat terlihat megah dan banyak kendaraan yang parkir, ga tau juga kendaraan pegawai atau masyarakat yang punya keperluan, sayang rasanya fasilitas bangunan yang ada tidak dibarengi dengan pelayanan yang prima.

Jalan yang selalu gw tunggu adalah tikungan - kalo kita dari arah Bireun- setelah pasar kecamatan Peudada, ga lupa melihat ke atas pohon yang sudah kering, disitu bergelantungan kelelawar gede (mungking kalong namanya) yang terlihat lelap tak bergerak. Menurut gw aneh aja ada base camp kalong disitu, dipinggir jalan, dikelilingi pohon-pohon yang masih hidup, seolah-olah tak memperdulikan keadaan sekitar mereka. Kalo sudah sore, beberapa kalong mulai berterbangan mengitari pohon, mungkin ngecek pasukan sebelum rame-rame cari makan.

Tak terasa, kantor camat Pandrah sudah terlewati, jalan mulai menanjak, namanya Cot Glungkue, sepanjang jalan dipenuhi warung-warung yang sebagian besar menyediakan mie, rujak, es kelapa muda, es tebu. Lumayan buat istirahat sebelum ato sesudah beraktifitas, istirahat menghilangkan rasa lelah sambil menikmati es kelapa muda, segerrr.

Kecamatan Simpang Mamplam tinggal beberapa tikungan lagi, sebelum sampe ke kantor Kecamatan, kita akan melewati sebuah mushalla yang banyak dikunjungi, persis diseberangnya adalah area makam, desebut Makam Delapan Pahlawan Syuhada. Menurut sejarah bahwa makam ini adalah makam 8 orang pejuang yang melawan penjajah Belanda, mereka gugur ketika sedang mengumpulkan senjata serdadu belanda yang telah mereka pukul dan tiba-tiba diserang oleh sepasukan Belanda lainnya yang datang dari arah Jeunib untuk memberi bantuan.

Dibagian depan makam tersebut, terletak sebuah celengan besar terbuat dari besi, kadang-kadang ada beberapa kendaraan yang sengaja berhenti untuk memberikan sedekah jariahnya kemudian melanjutkan perjalanan kembali. Ada juga pengunjung yang berziarah kemakam tersebut untuk memanjatkan doa atau shalat sunnat.

Tak terasa, tempat yang dituju sudah didepan mata, mio gw parkirin dibagian depan kantor kecamatan yang tak berpagar, helm pink yang menjadi pelindung kepala, ku sangkutkan di kaca spion sebelah kanan. Alhamdulillah, sampai juga ditempat kerja, tangan yang masih terasa bergetar, gw gerak-gerakin supaya normal kembali. Aktifitas sebagai pendamping kecamatan segera dilakukan.

No comments:

Post a Comment